Selasa, 09 Maret 2010

Pusat Belum Sahkan RTRWP Riau

10 Maret 2010
Laporan ADRIAN EKO, Pekanbaru
adrianeko@riaupos.com

Hingga saat ini, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau masih belum disahkan pusat. Akibatnya, beberapa rencana pengembangan wilayah di Riau turut terhambat aturan yang berlaku. Di antaranya pengembangan perkebunan seperti kelapa sawit atau pengelolaan hutan. Namun begitu, keterlambatan pembahasan RTRWP tersebut tidak diketahui penyebabnya.

Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau Emrizal Pakis, seluruh kelengkapan RTRWP termasuk penolakan beberapa kabupaten yang lalu sudah dituntaskan. Bahkan seluruh kabupaten/kota di Riau sudah menyepakati isi RTRWP yang disampaikan ke pusat tersebut.

‘’Saat ini masih pembahasan di pusat. Kurang jelas juga apa permasalahan yang membuat RTRWP Riau ini belum juga disahkan. Yang jelas, isi draf RTRWP ini sudah disepakati seluruh kabupaten/kota di Riau,’’ jelasnnya kepada Riau Pos Selasa (9/3) di Pekanbaru.

Akibat dari keterlambatan pengesahan RTRWP tersebut, beberapa lahan potensi perkebunan tidak bisa digarap. Pasalnya, jika saat digarap dan diproduksi tersangkut akan aturan RTRWP yang sudah dibuat terpaksa lahan tersebut dihapuskan. Lagi pula jika hal ini dilakukan, kepercayaan investor terhadap Riau juga akan menurun.

Sementara itu, masalah ketidak pahaman terkait pembebasan beberapa desa di Rohul yang dalam RTRWP yang lama harus dihapuskan, saat ini sudah tidak ada masalah. Namun begitu, beberapa desa kecil yang berada di dalam areal hutan dalam RTRWP harus dikeluarkan untuk mengurangi permasalahan. Untuk itu, dia berharap pusat segera mengesahkan RTRWP yang masih gantung di Riau.

‘’Kita harapkan pusat segera selesaikan masalah RTRWP Riau ini. Karena itu jika memang ada permasalahan yang menghambat kami siap dipanggil untuk meluruskan. Paling tidak pertengahan tahun semuanya sudah disahkan oleh pusat,’’ harapnya. (eko)



blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.

Sabtu, 16 Januari 2010

RTRWP Menuai Masalah di ROHUL

RTRWP Menuai Masalah
Desa Berumur 300 Tahun Terancam Hilang di Rohul
12 Januari 2010



DEMO: Massa menggelar demo menolak penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang baru buat, karena dikhawatirkan dapat menghapus sebagian wilayah pemukiman penduduk, Senin (11/1/2010).(mirshal/riaupos)
PEKANBARU (RP) - Puncak masalah RTRWP bermula pada Kamis (7/1) lalu, saat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau Emrizal Pakis melakukan ekspose tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau kepada seluruh bupati dan wali kota se-Riau.


DALAM penjelasannya, bahwa telah dilakukan perubahan atau revisi Peraturan Daerah Nomor 10/1994 tentang RTRWP, masa berlaku 2007-2026. Yang mana salah satunya berkaitan dengan status perluasan hutan di Rokan Hulu (Rohul).

Mengenai penetapan luas kawasan hutan tersebut, berdampak buruk pada konsekuensi tercaploknya daerah pemukiman masyarakat yang sudah ada sejak 300 tahun lalu. Beberapa kampung ini berpenduduk 72.000 jiwa lebih.

Beberapa kampung atau desa yang akan menuai dampak karena RTRWP Riau ini adalah Kecamatan Rokan IV Koto yang meliputi Desa Timbawan, Lubuk Ingou, Tandikan, Cipang Kiri Hilir, Cipang Kanan yang rencananya akan menjadi kawasan hutan lindung. Ini tidak sesuai harapan dari masyarakat Rohul yang menginginkan desa ini tetap dijadikan HPT atau kawasan Budi Daya Kehutanan.

Selanjutnya, Kecamatan Rambah meliputi Desa Sungai Bungo, HPT Kaiti-Kubu Pauh yang akan menjadi kawasan hutan lindung. Sedangkan harapan masyarakat atau usulan Pemkab Rohul tetap dijadikan HPT atau Kawasan Budi Daya Kehuatanan.

Kemudian, Kecamatan Tambusai Utara yang meliputi Desa Mahato (30.000 jiwa bertempat tinggal di Desa Mahato, red). Dalam revisi Perda Nomor 10/1994, tentang RTRWP dijadikan Hutan Produksi. Padahal usulan Pemkab

Rohul sudah harus dikeluarkan atau inclave dari Kawasan Hutan Produk Terbatas, bukan dijadikan hutan produksi.

Daerah lainnya yang bakal terkena dampak RTRWP adalah Kecamatan Kabun yang meliputi Desa Aliantan. Rencananya Desa Aliantan akan dijadikan Areal Penggunaan Lain (APL) ataupun kawasan Hutan Lindung Suligi.

Bila memang diteruskan RTRWP ini dapat dipastikan masyarakat di empat kecamatan ini terancam tidak akan memiliki tempat tinggal lagi. Sebab, tempat tinggal yang mereka huni selama ratusan tahun lalu berubah.

Tokoh Masyarakat Rohul H Irvansyah yang juga Ketua Perhimpunan Tempat Pengaduan Rohul mengatakan, wacana RTRWP perlu mendapatkan pengkajian ulang oleh pemerintah. Karena, masyarakat terpaksa pindah entah kemana lagi.

Desa yang sudah berdiri ratusan tahun lamanya atau saat Agama Islam masuk ke Rohul, perkampungannya akan musnah begitu saja karena perubahan kawasan. Masyarakat harus pindah kemana lagi, menurut dia, ini harus dipikirkan pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan.

Ketua Aliansi Mahasiswa Masyarakat Rohul Bersatu, Jupendri menambahkan, dalam membuat RTRWP sudah seharusnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dan Pemkab Rohul saling bersinergi. Pemkab Rohul yang lebih mengetahui lebih banyak mengenai fakta dilapangan hendaknya bisa memberikan informasi lebih akurat lagi kepada Pemprov Riau.

Menanggapi ini Kepala Bappeda Riau, Emrizal Pakis menyampaikan, RTRWP belum final. Dalam pengerjaan RTRWP masih dalam proses yang belum terselesaikan sampai sekarang. Usulan dari masyarakat Rohul, sambungnya, merupakan acuan kembali untuk perubahan RTRWP kedepannya.

‘’RTRWP sebuah proses. Informasi masyarakat sangat kita harapkan dalam pembuatan RTRWP. Berikan kami masukan sebanyak-banyaknya untuk menjadi bahan pertimbangan,’’ ungkapnya kepada Riau Pos, Senin kemarin, usai menerima ratusan demonstran dari Aliansi Masyarakat Rohul Bersatu, di Halaman Kantor Bappeda Riau Pekanbaru.

Menurut dia, tidak mungkin pemerintah ingin menyengsarakan masayrakatnya dalam membuat sebuah kebijakan. Sebaliknya, pemerintah sangat berkeinginan apa yang dilakukan dalam sebuah kebijakan bisa berdampak bagi perkembangan suatu kawasan dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Tak Akan Setuju
Dalam pada itu, Bupati Rokan Hulu Drs H Achmad MSi menegaskan, pihaknya tidak akan meneken Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau yang telah disusun oleh Pemprov Riau, sebelum tim Pemprov Riau dan Pusat menyesuaikan apa yang telah diusulkan oleh pemerintah daerah Rohul sebelumnya.

Karena, pada prinsipnya yang mengetahui kondisi suatu daerah itu adalah kepala daerahnya. Dimana sebelum direvisi RTRW Riau itu, tim Pemprov Riau, Dephut RI bersama Pemkab Rohul telah turun ke lapangan melihat kondisi daerah Rohul yang sebenarnya.(new/epp/hpz)


blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.

Selasa, 12 Januari 2010

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)



Apa yang dimaksud dengan AMDAL?
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.

Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

"...kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat pada tahap perencanaan..."

Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.

Dokumen AMDAL terdiri dari :

  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

Apa guna AMDAL?

  • Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
  • Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan

"memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif"

"digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan"

Bagaimana prosedur AMDAL?

Prosedur AMDAL terdiri dari :
  • Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
  • Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
  • Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
  • Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.

Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).

Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).

Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Siapa yang harus menyusun AMDAL?

Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.

Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL?

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.

Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.

Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL ?

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).

Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.

Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.

UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :

  • Identitas pemrakarsa
  • Rencana Usaha dan/atau kegiatan
  • Dampak Lingkungan yang akan terjadi
  • Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :

  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
  • Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara


Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya ?

AMDAL-UKL/UPL

Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib

Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.

Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.


blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN 2009

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

P.67/Menhut-II/2009

tentang:
Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

P.65/Menhut-II/2009

tentang:
Standard Biaya Produksi Pemanfaatan Kayu pada Izin Pemanfaatan Kayu dan Atau Penyiapan Lahan dalam Rangka Pembangunan Hutan Tanaman

P.64/Menhut-II/2009

tentang:
Standard Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat

P.63/Menhut-II/2009

tentang:
Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvo Pastura pada Hutan Produksi

P.62/Menhut-II/2009

tentang:
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Pengurus Unit Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia Departemen Kehutanan.

P.61/Menhut-II/2009

tentang:
Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.75/Menhut-II/2006 tentang Pelaksanaan Program Sekolah Riset (Research School) Bagi Peneliti Lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

P.60/Menhut-II/2009

Tentang:
Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan.

p.59/Menhut-II/2009
Tentang Rencana Kerja ( Renja ) Departemen Kehutanan Tahun 2010.

P.58 Menhut-II/2009

Tentang penggantian Nilai Tegakan dari Izain Pemanfaatan Kayu dan atau dari penyiapan lahan dalam pembangunan hutan tanaman.

P.57 Menhut-II/2009
Tata Cara Verifikasi Klaim Kredit Macet Kredit Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK-DAS)

P.56Menhut-II/2009
Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam Dan Hutan Restorasi Ekosistem
P.55/Menhut-II/2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-II/2007 Tentang Petunjuk Teknis Dan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan Nasional Rehablitasi Hutan Dan Lahan Tahun 2007
P.54/Menhut-II/2009
Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2007 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Gerakan Nasional Rehablitasi Hutan Dan Lahan Tahun 2007
P.53/Menhut-II/2009
Tentang Pemasukan Dan Penggunaan Alat Untuk Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Atau Izin Pemanfaatan Kayu
P.50/Menhut-II/2009
Tentang Penegasan Status Dan Fungsi Kawasan Hutan
P.49/Menhut-II/2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.4/Menhut-II/2009 Tentang Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Sementara
P.48/Menhut-II/2009
Tentang Penggunaan Peta Dasar Tematik Kehutanan Skala 1 : 250.000
P.47/Menhut-II/2009
Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan
P.46/Menhut-II/2009
Tentang Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Atau Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan Produksi
P.45/Menhut-II/2009
Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara
P.43/Menhut-II/2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2007 Tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan

P.42/Menhut-II/2009

P.41/Menhut-II/2009

P.40/Menhut-II/2009
tentang
Standar Operasi Prosedur Sistem Komunikasi Radio Terpadu Departemen Kehutanan

P.39/Menhut-II/2009
tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu

P.38/Menhut-II/2009
tentang
Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak

P.37/Menhut-II/2009
tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2005 Tentang Kerjasama Koperasi (KSO) Pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman

P.36/Menhut-II/2009

tentang
Tata Cara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung
P.35/Menhut-II/2009
tentang
Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Ekspor Produk Kayu Ulin Olahan (PROKALINO)

P.34/Menhut-II/2009
tentang
Tata Cara Dan Persyaratan Pemindahtanganan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

P.33/Menhut-II/2009
tentang
Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi

P.32/Menhut-II/2009

tentang
Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS)

P.31/Menhut-II/2009

tentang
Akta Buru Dan Tata Cara Permohonan Akta Buru

P.30/Menhut-II/2009
Tentang
Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD)

P.29/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Atas Menteri Kehutanan Nomor : P.52/Menhut-II/2008 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Dalam Hutan Produksi

P.28/Menhut-II/2009
Tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Dalam Rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan Atas Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah

P.26/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2007 Tentang Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri Dan Hutan Tanaman Rakyat

P.23/Menhut-II/2009
Tentang
Tata Cara Penyerahan Kembali Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Sebelum Jangka Waktu Izin Berakhir

P.22/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2005 Tentang Pelepasan Kawasan Hutan Dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan

P.21/Menhut-II/2009
Tentang
Kriteria dan Indikator Penetapan Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan

P.19/Menhut-II/2009
Tentang
Startegi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional

P.18/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.37/Menhut-II/2007 Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan

P.17/Menhut-II/2009
Tentang
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu

P.16/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Kelima Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 Tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan

P.15/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Dan Pembayaran Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Pada Hutan Produksi

P.14/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Dan Hutan Tanaman Rakyat

P.13/Menhut-II/2009
Tentang
Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi

P.12/Menhut-II/2009
Tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan

P.11/Menhut-II/2009
Tentang
Sistem Silvikultur Dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi

P.10/Menhut-II/2009
Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Hutan Raya

P. 9/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008 Tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan

P.8/Menhut-II/2009
Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 Tentang Penatusahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara

P.7/Menhut-II/2009
Tentang
Pedoman Pemenuhan Bahan Baku Kayu Untuk Kebutuhan Lokal

P.6/Menhut-II/2009
Tentang
Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan

P.4/Menhut-II/2009
Tentang
Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Sementara

P.01/Menhut-II/2009
Tentang
Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN
P.03/VI-BIKPHH/2009
Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Sistem Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Alam Negara Secara Online

KESEPAKATAN BERSAMA MENTERI KEHUTANAN DAN GUBERNUR PAPUA BARAT
PKS.2/Menhut-VI/2009
522.2/277.GPB/2009
Tentang
Penyelesaian Kayu Non Police Line di Provinsi Papua Barat

SURAT EDARAN MENTERI
SE.6/Menhut-VI/2009
Tentang
Penundaan Pelaksanaan SI-PUHH ONLINE





blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.

Sabtu, 02 Januari 2010

Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan

Pengertian Umum

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang; diantaranya meliputi hirarki pusat pelayanan seperti pusat kota, lingkungan; prasarana jalan seperti jalan arteri, kolektor, lokal dan sebagainya. Sementara pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam; diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan.

Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kawasan Perkotaan dibedakan atas:

a. Kawasan Perkotaan yang berstatus administratif Daerah Kota;
b. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten;
c. Kawasan Perkotaan Baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah Kawasan Perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan;
d. Kawasan Perkotaan yang mempunyai bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan.

Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan, secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan.
Penanganan penataan ruang masing-masing Kawasan Perkotaan tersebut perlu dibedakan antara satu dengan lainnya. Ada 3 klasifikasi Kawasan Perkotaan yang akan diuraikan dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan ini:

a. Kawasan Perkotaan Metropolitan;
b. Kawasan Perkotaan yang berstatus Daerah Kota;
c. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten.

Sesuai dengan klasifikasi tersebut di atas, maka:
• untuk Kawasan Perkotaan Metropolitan, pengaturan pemanfaatan ruang diarahkan bagi keserasian pusat-pusat wilayah maupun kota, yang dipandang dalam rangka keserasian administratif maupun fungsional, dan sifat rencananya menyangkut hal-hal yang strategis;
• untuk Kawasan Perkotaan yang merupakan Daerah Kota, kedalaman rencananya bersifat umum;
• untuk Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten, diakomodasikan perencanaannya dalam RTRW Kabupaten yang bersifat umum.
Selanjutnya kawasan perkotaan yang berstatus Daerah Kota disebut ‘Kota’

Kedudukan dan Jenis Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
• Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya;
• Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya;
• Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi Kawasan Perdesaan, Kawasan Perkotaan, dan Kawasan Tertentu;
• Penataan ruang Kawasan Perkotaan diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota;
• Penataan ruang Kawasan Perkotaan meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan.;
• Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
• Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan perlu dibedakan dalam 3 jenis rencana dengan tingkat kedalaman yang berbeda:
1) Rencana Struktur, adalah kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk Kawasan Perkotaan Metropolitan dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang;
2) Rencana Umum, adalah kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan sertadiprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan;
3) Rencana Rinci, terdiri dari:
a. Rencana Detail, merupakan pengaturan yang memperlihatkan keterkaitan antara blok-blok penggunaan kawasan untuk menjaga keserasian pemanfaatan ruang dengan manajemen transportasi kota dan pelayanan utilitas kota.
b. Rencana Teknik, merupakan pengaturan geometris pemanfaatan ruang yang menggambarkan keterkaitan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya, serta keterkaitannya dengan utilitas bangunan dan utilitas kota/kawasan (saluran drainase, sanitasi dll).
Sesuai dengan tingkatan kedalaman perencanaan tata ruang tersebut, maka produk perencanaan tata ruang kawasan perkotaan meliputi:
a. Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan;
b. Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Perkotaan/Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;
c. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan;
d. Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan/Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.

Klasifikasi dan Kriteria Kawasan Perkotaan
2.3.1 Kawasan Perkotaan berdasarkan status pemerintahan dibedakan atas:
a) Kawasan Perkotaan yang merupakan Daerah Kota;
b) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten, yang terdiri dari ibukota Kabupaten, Kawasan Perkotaan yang sesuai kriteria, termasuk Kawasan Perkotaan Baru (yaitu kawasan yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan);
c) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah Otonom yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.
a) Kriteria Kawasan Perkotaan yang merupakan Daerah Kota
• Kemampuan ekonomi; merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Kota, yang dapat diukur dari:
- PDRB (produk domestik regional bruto);
- Penerimaan daerah sendiri.
• Potensi daerah; merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat, yang dapat diukur dari:
- Lembaga keuangan;
- Sarana ekonomi;
- Sarana pendidikan;
- Sarana kesehatan;
- Sarana transportasi dan komunikasi;
- Sarana pariwisata;
- Ketenagakerjaan.
• Sosial budaya; merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, yang dapat diukur dari:
- Tempat peribadatan;
- Tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
- Sarana olahraga.
• Sosial politik; merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat, yang dapat diukur dari:
- Partisipasi masyarakat dalam berpolitik;
- Organisasi kemasyarakatan.
• Jumlah penduduk; merupakan jumlah tertentu penduduk suatu daerah.
• Luas daerah; merupakan luas tertentu suatu daerah.
• Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah; dapat diukur dari:
- Keamanan dan ketertiban;
- Ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
- Rentang kendali;
- Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan;
Cara pengukuran kriteria tersebut di atas dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Lampiran PP No. 129 tahun 2000.
b) Kriteria Umum Kawasan Perkotaan
• Memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan;
• Memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa;
• Memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar;
• Memiliki fungsi sebagai pusat koleksi dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana pergantian moda transportasi.
c) Kriteria Kawasan Perkotaan Metropolitan
• Kawasan-kawasan Perkotaan yang terdapat di dua atau lebih daerah otonom yang saling berbatasan;
• Kawasan Perkotaan yang terdiri atas satu kota inti berstatus otonom dan Kawasan Perkotaan di sekitarnya yang membentuk suatu sistem fungsional;
• Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan melebihi 1.000.000 jiwa.
d) Kriteria Kawasan Perkotaan Baru
• Kawasan yang memiliki kemudahan untuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan dengan membentuk satu kesatuan sistem kawasan dengan kawasan perkotaan yang ada;
• Kawasan yang memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi perkotaan;

• Kawasan yang terletak di atas tanah yang bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis dan bukan kawasan yang rawan bencana alam;
• Kawasan yang tidak mengakibatkan terjadinya konurbasi dengan kawasan perkotaan di sekitarnya;
• Kawasan yang sesuai dengan sistem perkotaan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Propinsi, dan Kabupaten;
• Kawasan yang dapat mendorong aktivitas ekonomi, sesuai dengan fungsi dan perannya;
• Kawasan yang mempunyai luas kawasan budi daya sekurang-kurangnya 400 hektar dan merupakan satu kesatuan kawasan yang bulat dan utuh, atau satu kesatuan wilayah perencanaan perkotaan dalam satu daerah kabupaten;
• Kawasan yang direncanakan berpenduduk sekurang-kurangnya 20.000 jiwa.
2.3.2 Kawasan Perkotaan berdasarkan jumlah penduduk diklasifikasikan menjadi :
a) Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa;
b) Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;
c) Kawasan Perkotaan Besar, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa;
d) Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.

ali afriandy, S.Si