Sabtu, 26 Desember 2009

PERMASALAHAN LINGKUNGAN, SOIAL DAN EKONOMI PADA PENATAAN RUANG

PERMASALAHAN LINGKUNGAN, SOIAL DAN EKONOMI PADA PENATAAN RUANG

ada tiga aspek penting dalam penataan ruang yang saling berkaitan dan harus berkelanjutan.
1. aspek perencanaan
2. aspek pelaksanaan
3. aspek penegakan hukum.


A. PENYIMPANGAN PENATAAN RUANG MASA LALU

1. masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam setiap aspek PENATAAN RUANG
2. tata ruang tidak menjadi acuan oleh sektor lain dalam mengeluarkan kebijakan (kebijakan sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, dll)sehingga banyak terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan.
3. rencana tata ruang yang disusun tidak menjawab persoalan ekonomi, sosial yang dibutuhkan masyarakat namun lebih mengakomodir kepentingan dan kebutuhan investasi.
4.masing-masing kebijakan disetiap level pemerintahan belum mempunyai cara pandang yang sama dalam proses penyusunan tata ruang.


B. TAWARAN SOLUSI PENATAAN RUANG UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BAIK

1. MELENGKAPI UU 26/2007 DENGAN PP, KEPMEN, PERDA PROVINSI, PERDA KABUPATEN TENTANG PENATAAN RUANG.
2. REFORMASI REGULASI SEKTORAL TERHADAP UU 26/2007
3. MASYARAKT SIPIL HARUS TERLIBAT DALAM SETIAP PROSES PENATAAN RUANG BAIK DALAM ASPEK PERENCANAAN , ASPEK PELAKSANAAN DAN ASPEK PENEGAKKAN HUKUM (UU 26/2007 BAB VIII pasal 60)
4. PENEGAKAN HUKUM



blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.

Kamis, 24 Desember 2009

Pulau Strategis NKRI Terancam Tenggelam, Ribuan Penduduk Dirampas Haknya Akibat Pembabatan Hutan Alam

Siaran Pers WALHI RIAU

22 Desember 2009,
WALHI Riau terbitkan laporan investigasi penebangan hutan alam oleh
PT Sumatera Riang Lestari (PT.SRL) kelompok PT RAPP/APRIL di Pulau Rangsang, Kab. Kep. Meranti, Riau
Pulau Strategis NKRI Terancam Tenggelam, Ribuan Penduduk Dirampas Haknya Akibat Pembabatan Hutan Alam

PEKANBARU, 22 Desember 2009—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) daerah Riau hari ini meluncurkan laporan investigasi penebangan hutan alam oleh PT Sumatera Riang Lestari, satu grup dengan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) maupun Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL). Sedikitnya 1.000 hektar hutan alam di Pulau Rangsang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, telah ditebang oleh PT SRL, sejak Mei 2009, yang mengancam tenggelamnya salah satu pulau strategis di Indonesia serta menyebabkan terlepasnya emisi karbon di daerah gambut dalam tersebut.

WALHI Riau melaksanakan investigasi di konsesi PT. Sumatera Riang Lestari (PT. SRL) di Pulau Rangsang sepanjang bulan Juli-Agustus 2009. Tim investigasi menemukan tumpukan kayu log yang diestimasikan mencapai 1500 m3 dan tumpukan kayu sebagai bahan baku pulp sekitar 5000 m3. Selain itu, ditemukan 4 unit alat berat ekskavator sedang menarik kayu yang telah ditebang.

PT SRL juga diketahui membuat kanal di lahan gambut serta mempersiapkan pembuatan logyard (lokasi untuk tumpukan kayu) di pelabuhan yang direncanakan. Tim Walhi juga menemukan pembuatan kanal-kanal yang telah mencapai panjangnya 10 km dengan lebar mencapai 12 meter dan kedalamannya mencapai 5 meter.

Tim WALHI telah mengumpulkan informasi dan data-data di masyarakat terkait ekspansi PT SRL di Pulau Rangsang. Sejumlah dokumen penolakan masyarakat 13 desa se-Kecamatan Rangsang telah diperoleh menunjukkan betapa kerasnya penolakan warga desa terhadap operasi penebangan hutan alam gambut oleh PT SRL.

”Adanya perkebunan HTI oleh kelompok PT RAPP ini tentu akan menjadi ancaman nyata bagi penduduk tempatan, baik dari aspek lingkungan maupun eksistensi mereka sendiri,” ujar Hariansyah ”Kaka” Usman, Direktur Eksekutif WALHI Riau. ”Kehadiran perusahaan HTI ini akan menghilangkan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan sumber-sumber kehidupan dari hutan mereka sendiri karena mereka sangat menggantungkan diri pada kekayaan hutan ini.”

Ekspansi HTI PT. SRL di lahan gambut yang seharusnya dilindungi menyebabkan emisi karbon CO2 yang signifikan. Kawasan ekspansi HTI perusahaan ini dilakukan pada hutan alam yang patut dipertahankan karena masih dalam keadaan bagus. WALHI Riau menilai ekspansi HTI PT SRL juga mengancam kehidupan satwa langka yang dilindungi maupun spesies fauna pohon ramin. Kegiatan perusahaan ini juga memicu abrasi di pulau strategis itu maupun kekeringan di sejumlah danau (tasik) akibat pengeringan kanal gambut.

Dari investigasi ini WALHI menemukan beberapa hal menarik, seperti keganjilan dan kontroversi yang patut untuk dicermati. Legalitas PT SRL di Pulau Rangsang seluas 18.890 ha merupakan bagian konsesi perusahaan itu seluas 215.305 hektar, yang sebelumnya diindikasikan berasal dari konsesi hutan produksi eks HPH milik PT National Timber. Izin penebangan atau Rencana Kerja Tahunan untuk PT SRL ini diperoleh langsung dari Menteri Kehutanan dengan tidak melibatkan partisipasi aktif Dinas Kehutanan Provinsi seperti biasanya.

“Tentu saja hal ini patut dipertanyakan kenapa rekomendasi dari instansi berwenang di daerah tidak jadi pertimbangan dalam pembuatan keputusan ini,” ujar Hariansyah. WALHI Riau juga mengindikasikan kegiatan perusahaan tidak dilengkapi dengan Amdal dan rekomendasi pejabat berwenang di daerah karena perusahaan hanya mengakui mendapat persetujuan dari Bupati Bengkalis dan Gubernur Riau.

Ekspansi HTI PT SRL menimbulkan konflik sosial dan keresahan masyarakat tempatan terbukti dengan banyaknya protes masyarakat yang merasa terancam kehidupan mereka akibat operasi perusahaan ini. ”Pembabatan hutan alam rawa gambut oleh PT SRL bukan saja mengancam hutan rawa gambut Pulau Rangsang, tapi mengancam pulau terluar Indonesia yang sangat strategis dalam aspek pertahanan dan keamanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Tentu ini masalah serius dan tak bisa diabaikan begitu saja,” Hariansyah menambahkan.

Karena begitu banyaknya persoalan diakibatkan perluasan konsesi HTI serta banyak kepentingan terancam, mulai dari ekonomi-sosial masyarakat, hutan alam, ekosistem gambut, spesies langka Ramin, satwaliar, terancamnya pulau terluar strategis NKRI, dan lepasnya emisi karbon maka Walhi Riau mengimbau Asia Pacific Resources International Holdings (APRIL), PT RAPP dan PT SRL untuk berhenti melakukan penebangan hutan alam di Pulau Rangsang. Walhi mengimbau Departemen Kehutanan untuk meninjau ulang dan membatalkan izin yang telah diberikan kepada PT SRL karena banyaknya masalah yang ditimbulkan kepada ekosistem dan masyarakat, selain kontroversi dari segi perizinan yang berindikasikan pada praktek KKN.

blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.

SEMENANJUNG KAMPAR, KADISHUT BERATKAN MENHUT

KADISHUT BERATKAN MENHUT
Tuesday, 22 December 2009 00:00

Hearing Proses Izin RAPP
PEKANBARU-Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf menegaskan, surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.327/Menhut- II/2009 seluruh prosesnya merupakan andil dari Menhut. Termasuk proses Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk PT RAPP juga dikeluarkan Menhut, tanpa adanya rekomendasi Dishut Riau.

"Berdasarkan surat Menhut tersebut terjadi perubahan luas areal izin RAPP dari 235.140 ha menjadi 350.165 ha di Kampar, Siak, Pelalawan, Kuansing dan Meranti," kata Kadishut kepada wartawan, Senin (21/12), seusai hearing dengan Komisi A prihal simpang siur rekomendasi Pemprov terhadap SK Menhut untuk RAPP.
Dishut Riau, kata Zulkifli, hanya mengeluarkan pemberitahuan kepada Menhut pada tanggal 2 September 2009. Isinya, memberitahukan kepada Menhut bahwa SK tentang perubahan ketiga atas Keputusan Menteri tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT RAPP terdapat areal tumpang tindih dengan Kawasan Suaka Alam (KSA) seluas 5.019 Ha, terdapat Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411 Ha.
Bahkan dalam suratnya, Dishut mengusulkan kepada Menhut untuk meninjau ulang dan merevisi keputusan tersebut, mengacau dan mengakomodir Surat Gubernur No.522/EKBANG/ 33.10 tanggal 2 Juli 2004 tentang perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan Hutan Produksi Tetap.
"Kan sudah saya bilang dari izinnya, RKT RKU pusat semua (yang tangani red.). Saya sudah bilang saya tidak mau menerbitkan (rekomendasi) karena ini ada hutan alam, ada masalah. Kalau anda (Menhut Red.) anggap tidak masalah silahkan saja terbitkan," kata Zulkifli.
Dijelaskan Kadishut, rekomendasi Gubernur pernah keluar yaitu pada tahun 2004 sebelum terbitnya SK perubahan kedua perluasan areal HTI RAPP menjadi seluas 235.140 H dari Menhut Nomo SK356/Menhut- II/2004). Kendati demikian rekomendasi gubernur saat itu memilliki catatan persyaratan antara lain sebelum Menhut memberi surat Izin kepada RAPP, harus terlebih dahulu mengadenddum SK HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepda PT RAPP. Melaksanakan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi tetap, dan PT RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat.

Semenanjung Kampar
Sementara itu saat rapat hearing dengan komisi A, Kadishut memaparkan tentang perubahan perluasan areal garapan PT RAPP pada tahun 2004 seluas 235.140 Ha berdasarkan SK.356/Menhut- II/2004. Dan perubahan ketiga seluas 350165 Ha dengan SK327/Menhut- II/2009 yang terdiri di Kampar, Siak, Pelalawan, Kuansing, dan Meranti. Nah saat keluarnya SK perubahan ketiga, Pemprov sendiri tidak pernah mengeluarkan surat rekomendasi sama sekali. Bahkan yang ada Pemprov malau mengingatkan menteri tentang adanya tumpang tindih peruntukan atas lahan tersebut.
Namun saat ditanya mengenai kaitannya dengan Semenanjung Kampar, Kadishut sendiri malah menyatakan tidak tahu tentang keberadaan Semenanjung Kampar kaitannya dengan izin yang dikeluarkan Menhut. "Coba saya tanya kepada Anda dimana Semenanjung Kampar," katanya.
Hanya saja dari uraian Kadishut tentang perubahan ketiga areal PT RAPP tahun menurut SK Menhut tahun 2009 tersebut menyebutkan penambahan areal terhadap RAPP di Kabupaten Pelalawan dari 89 ribu hektar bertambah menjadi 151 hektar. Namun diakui Zulkifli pihaknya tidak bisa menyebut secara mendetail daerah atau kawasan dari penambahan tersebut.
Rapat hearing Komisi A juga menghadirkan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Fadrizal Labay, dan dari Unri dan UIR yang juga dikaitkan dengan keluarnya rekomendasi Amdal.
Fadrizal Labay dalam penjelasannya mengatakan izin Amdal yang dikeluarkan pada tahun 2006 yang layak lingkungan adalah seluas 152.866 Ha, terdiri dari wilayah kabupaten Bengkalis seluas 42.600 ha, kab Siak 20.000 dan kabupaten Pelalawan 90.266.
Sayangnya saat ditanya wartawan Fadrizal tidak bisa menjelaskan secara mendetail kawasan-kawasan tersebut yang lolos amdal. Karenanya saat wartawan mempertanyakan kaitannya dengan Semenanjung Kampar Fadrizal menjawab senada dengan apa yang dikatakakan Kadishut. Intinya Ia juga tidak tahu keberadaan Semenanjung Kampar.
Sedangkan Kepala Penelitian Unri Usman Tang mengatakan, dari hasil penelitian pihaknya, ada yang dipotong-potong poinnya yang menguntungkan pihak RAPP.
Rapat hearing yang dipimpin Ketua Komisi A Bagus Santoso akhirnya menetapkan beberapa kesimpulan antara lain, ada proses izin yang bermasalah, hasil rekomendasi komisi Amdal ada yang dipotong-potong, kemudian keluarnya Izin Menhut menyalahi aturan PP34 dan PP 6 2008 bahwa peruntukan lahan idealnya melalui proses lelang bukang hanya melalui proses permohonan. don
http://www.riaumand iri.net/rmn/index.php? option=com_content&view=article&id=5762%3Akadishut- beratkan- menhut&catid=34%3Aheadline&Itemid=111&lang=en


blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.

Copenhagen

Copenhagen Accord


The Copenhagen Accord is the document that delegates at the United Nations Climate Change Conference agreed to "take note of" at the final plenary session of the Conference on 18 December 2009.

The Accord is not legally binding, and does not commit countries ever to agree a binding successor to the Kyoto Protocol, whose present round ends in 2012.[1] The BBC immediately reported that the status and legal implications of the Copenhagen Accord were unclear.[2]

Summary of the Accord

The Accord :

* Endorses the continuation of the Kyoto Protocol
* Emphasises a "strong political will to urgently combat climate change in accordance with the principle of common but differentiated responsibilities and respective capabilities"
* Recognises "the scientific view that the increase in global temperature should be below 2 degrees Celsius"
* Recognises "the critical impacts of climate change and the potential impacts of response measures on countries particularly vulnerable to its adverse effects"
* Stresses "the need to establish a comprehensive adaptation programme including international support"
* Recognises that "deep cuts in global emissions are required according to science"
* Agrees cooperation in stopping global and national greenhouse gas emissions from rising "as soon as possible"
* States that "Enhanced action and international cooperation on adaptation is urgently required to... reduc[e] vulnerability and build.. resilience in developing countries, especially in those that are particularly vulnerable, especially least developed countries, small island developing States and Africa"
* Agrees that "developed countries shall provide adequate, predictable and sustainable financial resources, technology and capacity-building to support the implementation of adaptation action in developing countries"
* Agrees that developed countries would "commit to economy-wide emissions targets for 2020" to be submitted by 31 January 2010
* Agrees that parties to the Kyoto Protocol would strengthen their existing targets
* Agrees that developing nations would "implement mitigation actions" to slow growth in their carbon emissions, submitting these by 31 January 2010
* Agrees that developing countries would report those actions once every two years via the U.N. climate change secretariat, and that "delivery of reductions and financing by developed countries will be measured, reported and verified... and will ensure that accounting of such targets and finance is rigorous, robust and transparent"
* Recognises "the crucial role of reducing emission from deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by forests", and the need to establish a mechanism to enable the mobilization of financial resources from developed countries to help achieve this
* States that "scaled up, new and additional, predictable and adequate funding as well as improved access shall be provided to developing countries... to enable and support enhanced action on mitigation"
* Agrees a "goal" for the world to raise $100 billion per year by 2020, from "a wide variety of sources", to help developing countries cut carbon emissions and adapt to climate change
* Agrees that developed countries would raise funds of $30 billion from 2010-2012 to help developing nations fight climate change
* Establishes a Copenhagen Green Climate Fund "to support projects, programme, policies and other activities in developing countries related to mitigation"
* Establishes a Technology Mechanism "to accelerate technology development and transfer"
* Calls for "an assessment of the implementation of this Accord to be completed by 2015... This would include consideration of strengthening the long-term goal", for example to limit temperature rises to 1.5 degrees


blogs ini dibuat agar kita sama-sama memahami arti pentingnya pemetaan ruang provinsi riau yang berbasiskan masyarakat, dan menempatkan setiap ruang provinsi riau sesuai dengan peraturan yang di sepakati bersama, serta tidak merugikan ekologi dan masyarakat yang ada.